Psychological Stigma

Psychological Stigma

Departrmen: Pendidikan dan Keilmuan

Nama :

  1. Aqila Salwa Salsabila (10050017209)
  2. Dessy Fatmawati (10050017207)
  3. Maulidina Rihadatul A (10050017189)
  4. Nava Saliha (10050018008)
  5. Yasyfa Camilla (10050018061)
  6. Ei Vidi Tiara (10050018071)

Tulisan ini akan menjelaskan mengenai stigma orang-orang terhadap psikologi. Sebelum menjelaskan fenomena yang terjadi, tulisan ini akan menjelaskan mengenai apa itu psikologi secara umum dan menurut pandangan salah satu tokoh psikologi. Psikologi secara umum merupakan suatu disiplin ilmu yang berfokus kepada tingkah laku, proses mental dan berbagai masalah kejiwaan manusia yang dikaji secara luas dan mendalam. Sedangkan psikologi menurut Geoge A. Miller (1974:4) adalah ilmu yang mencoba menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol mental dan tingkah laku. Terkait dengan pengertian diatas, terdapat beberapa fenomena yang akan kita bahas di artikel ini.

Fenomena pertama yaitu stigma masyarakat terhadap psikologi. Bahwa mahasiswa psikologi dan psikolog dianggap memiliki kemampuan untuk meramal dan membaca pikiran orang lain. Hal ini dapat terlihat dari sikap masyarakat awam yang sering kali melontarkan kalimat “Kamu bisa meramal dan membaca pikiranku ya?” “ Coba lihat aku orangnya kaya gimana?”. Kalimat tersebut merupakan salah satu contoh dari stigma psikologi. Menurut pandangan kami sebagai mahasiswa psikologi hal itu tidak sesuai dengan apa yang kami pelajari karena hal tersebut tidak semudah yang mereka pikirkan. Sebelum mendiagnosa, kami harus mengetahui faktor  penyebab dari perilaku yang melekat pada diri seseorang tersebut.

Fenomena kedua yaitu masyarakat memiliki pemahaman yang salah terhadap psikologi. Salah satu contohnya adalah pemahaman keliru masyarakat terhadap ekstrovert dan introvert. Masyarakat menganggap bahwa seorang introvert adalah orang yang sulit diajak kerja sama, tidak bisa diandalkan, tidak pandai public speaking dan pribadi yang membosankan. Sedangkan seorang ekstrovert dianggap masyarakat sebagai orang yang  hebat karena dapat bersosialisasi dengan baik. Selain itu, masyarakat memandang bahwa introvert dan ekstrovert merupakan gangguan yang dapat timbul secara tiba-tiba.

Pada kenyataannya, menurut teori psikologi hal tersebut tidak tepat. Teori tersebut dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Carl Gustav Jung (Alwisol, 2009) menyatakan bahwa sikap introvert mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam dan privat di mana realita hadir dalam bentuk hasil amatan, cenderung menyendiri, pendiam/tidak ramah, bahkan antisosial pada taraf yang ekstrim. Umumnya, orang introvertif itu senang introspektif dan sibuk dengan kehidupan internal mereka sendiri. Tentu saja mereka mengamati dunia luar, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan memakai pandangan subjektif mereka sendiri. Sedangkan sikap ekstrovert mengarahkan pribadi ke pengalaman obyektif, memusatkan perhatiannya ke dunia luar alih-alih berfikir mengenai persepsinya, cenderung berinteraksi dengan orang disekitarnya, aktif dan ramah.

Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang introvert merupakan orang yang sulit diajak kerja sama, tidak bisa diandalkan, tidak pandai public speaking dan orang yang membosankan. Setiap individu yang memiliki sikap introvert memiliki pandangan yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan subjektif mereka sendiri. Sedangkan tidak semua orang yang memiliki sikap ekstrovert merupakan orang yang hebat karena mereka sama seperti seseorang introvert yaitu memiliki pandangan sendiri. Perbedaannya seorang ekstrovert memiliki pandangan yang objektif. Sehingga setiap individu yang memiliki sikap introvert maupun ekstrovert memiliki cara pandang mereka sendiri. Maka dari itu, pandangan masyarakat salah karena hal tersebut tidak benar. Sikap  individu introvert maupun ekstrovert berbeda-beda sesuai dengan cara pandang dan karakterisik mereka.

Fenomena ketiga adalah orang yang memiliki gangguan mental masih takut dan ragu untuk datang menemui psikolog, karena umumnya masyarakat menganggap bahwa seseorang yang menemui psikolog adalah orang dengan gangguan jiwa. Padahal sebaiknya seseorang yang merasa memiliki kecenderungan mental tidak perlu ragu dan malu untuk menemui psikolog. Karena pada dasarnya orang yang menemui psikolog bukan hanya orang yang ingin mengobati permasalahan psikisnya, tetapi juga mencegah gangguan tersebut semakin parah.

Kesimpulan  pada beberapa fenomena diatas adalah stigma masyarakat terhadap psikologi sulit untuk diubah, sehingga kita sebagai orang yang memahami ilmu psikologi harus berusaha mengubah stigma tersebut dengan mengedukasi masyarakat salah satunya adalah sosoalisasi secara personal dan juga dapat melalui acara- acara besar seperti seminar dan workshop agar masyarakat memahami dengan benar pandangan psikologi yang sebenarnya dan terhindar dari stigma terhadap psikologi.

DAFTAR PUSTAKA

Wade. Carole dan Carol Tavris. 2008. Psikologi Jilid I, Edisi 9. Jakarta: Erlangga.

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian, Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Related Posts