Fakultas Psikologi UNISBA Artikel Memahami Kehamilan Remaja, Depresi, dan Solusinya

Memahami Kehamilan Remaja, Depresi, dan Solusinya

Penulis: Safadena Khansa, Restu Dinda Triani, Nasywa Annisa Salsabilla, Mochammad Zaki Oktaviansyah, Najmi Nabila Zahrah

Tim AMBU PKM RSH 2024

Berita terkait kehamilan remaja dan kesehatan mental di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Kutipan pada salah satu kanal berita menunjukkan hasil wawancara pada pihak kepolisian di Blora yang menyatakan bahwa korban melakukan gantung diri karena depresi hamil di luar nikah dan masih berstatus pelajar kelas 2 SMA (Pradana & Aprian, 2021). Berita terkini, 29 Maret 2024, pun menulis terkait remaja hamil berinisial SN (18 tahun) yang mengalami depresi kemudian membuang dan membekap bayinya hingga meninggal di Jepara (Rossa, 2024).

Tidak hanya di Indonesia, kehamilan remaja menjadi isu global terkait kesehatan mental di berbagai negara (Mezmur et al., 2021). Menurut World Health Organization (WHO), kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada anak perempuan berusia 10-19 tahun dan sebagian besarnya mengalami kehamilan tidak diinginkan. Kehamilan berdampak besar terhadap kesejahteraan finansial, emosional, dan sosial pada remaja yang sedang menghadapi kehamilan (Chandra et al., 2002; Mollborn et al., 2009). Banyak dari faktor-faktor ini diperparah dengan fakta bahwa remaja berisiko lebih besar untuk mengalami gizi buruk, diagnosis kehamilan yang terlambat, dan akses yang terlambat terhadap perawatan prenatal (Leftwich & Alves, 2017). Mereka sering terganggu oleh dukungan sosial dan kesejahteraan emosional yang buruk, dibandingkan dengan perempuan dewasa (Leftwich & Alves, 2017). 

Setiap tahun, diperkirakan 21 juta perempuan berusia 15-19 tahun hamil dan sekitar 12 juta di antaranya melahirkan (Sully et al., 2020). Sebagian besar kehamilan remaja ini terjadi di negara-negara berkembang (United Nations, 2011). Di wilayah tertentu, misalnya Asia Tenggara, sekitar 6 juta remaja melahirkan setiap tahunnya, yang berarti rata-rata 16% dari seluruh kelahiran (WHO, 2015). Meskipun angka ini sangat bervariasi di setiap negara, fenomena ini sangat mengkhawatirkan.

Kehamilan remaja di Asia Tenggara menjadi prioritas kesehatan masyarakat yang signifikan, yang berisiko bagi kesehatan dan kesejahteraan remaja perempuan dan bayi merekadi kemudian hari (UNFPA & UNICEF, 2023). Di Kamboja, mayoritas kehamilan remaja terjadi dalam konteks pernikahan, tetapi sekitar satu dari sepuluh perempuan hamil sebelum usia 18 tahun melakukannya di luar ikatan pernikahan (Harvey et al., 2022; UNICEF & UNFPA, 2022).

Di sisi lain, tingkat pernikahan anak di Republik Demokratik Rakyat Laos (RDR Laos) adalah yang tertinggi di Asia Tenggara (UNICEF & UNFPA, 2022). Analisis data representatif nasional dari RDR Laos mengungkapkan bahwa di antara perempuan berusia 20-24 tahun yang melahirkan sebelum usia 18 tahun, dua pertiganya hamil dalam konteks pernikahan, tetapi lebih dari 27% hamil di luar nikah (Harvey et al., 2022). Data pun menunjukkan bahwa kehamilan di luar nikah menjadi lebih umum terjadi di RDR Laos (UNICEF & UNFPA, 2022; UNFPA & UNICEF, 2023).

Di Indonesia, sebagian besar kehamilan remaja terjadi dalam konteks ikatan pernikahan (UNFPA & UNICEF, 2023). Namun, sekitar satu dari empat perempuan hamil di luar ikatan pernikahan dan 92% di antaranya setelah melahirkan baru melangsungkan pernikahan (Harvey et al., 2022). Berdasarkan data, kehamilan di luar nikah menjadi lebih umum di Indonesia (Harvey et al., 2022). 

Kehamilan remaja juga berkaitan dengan berkembangnya kecemasan dan depresi yang kronis (Ayazbekov et al., 2020). Gejala kecemasan yang dialami oleh remaja hamil mencakup kekhawatiran yang terus-menerus tentang status kehamilan yang tidak diinginkan, kurangnya dukungan dari teman dan keluarga, dan stigma sosial yang tidak menguntungkan (Asmariyah, 2021). Selain itu, terdapat beberapa konsekuensi yang merugikan bagi ibu remaja dan anaknya akibat depresi selama kehamilan (Meadows-Oliver & Sadler, 2010). Penyalahgunaan obat-obatan, putus sekolah, dan pikiran untuk bunuh diri adalah beberapa dampak dari sindrom depresi (Phipps et al., 2013; Hodgkinson et al., 2010). Oleh karena itu, anak-anak yang lahir dari perempuan yang mengalami depresi tidak mendapatkan perawatan yang memadai, yang menghambat perkembangan mereka dan mengakibatkan rendahnya tingkat keterlibatan sosial dan peningkatan reaktivitas stres (Phipps et al., 2013).

Lalu, bagaimana solusi atas permasalahan ini? Berikut sejumlah strategi untuk membantu remaja hamil dalam menghadapi kecemasan dan depresi berdasarkan tinjauan literatur.

  • Menulis Narasi

Menulis narasi adalah salah satu strategi yang dapat mengarah pada modulasi emosi, pengurangan kecemasan, dan penurunan gejala depresi (Akbarzadeh, 2012). Kegiatan ini digunakan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Jika dilakukan selama setidaknya 15 menit, menulis narasi tentang pengalaman hidup yang penting dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental selama tiga hari (Krpan et al., 2013). Menulis pun mencegah emosi yang tidak menyenangkan sekaligus memperkuat kemampuan memecahkan masalah (Pennebaker & Beall, 1986).

  • Melakukan Pelatihan Mindfulness

Pelatihan mindfulness membantu wanita hamil menghadapi kecemasan, stres, depresi, hingga membantu kesiapan dalam menghadapi persalinan (Dimidjian et al., 2016). Mindfulness dapat didefinisikan sebagai bentuk perhatian khusus yang (1) terfokus pada saat ini, (2) disengaja, dan (3) tidak menghakimi (Kabat-Zinn, 1990). Mindfulness merupakan proses menuju kondisi mental yang ditandai dengan kesadaran yang tidak menghakimi pengalaman saat ini, termasuk sensasi, pikiran, kondisi tubuh, kesadaran, dan lingkungan seseorang, sembari mendorong keterbukaan, keingintahuan, dan penerimaan (Kabat-Zinn, 2003; Bishop, 2004; Allen et al., 2006). Konsep mindfulness menjadi salah satu cara menurunkan kecemasan dan depresi (Kabat-Zinn, 1990). Pelatihan mindfulness meliputi kegiatan menyadari akan pernapasan, posisi tubuh, cara berjalan, sensasi tubuh internal, serta kondisi pikiran, yang akan meningkatkan afek positif dan mendukung penanganan stres yang adaptif (Bränström & Duncan, 2014).

  • Bergabung dalam Peer-Support Group

Peer-to-peer support, salah satu bentuk dukungan sosial, telah terbukti dapat meningkatkan hasil kesehatan pada berbagai kelompok usia (Dennis, 2003; Simoni et al., 2011), termasuk remaja (Kohut et al., 2014; Turner, 1999) dan populasi ibu (Dennis et al., 2009). Peer adalah individu dengan karakteristik dan pengalaman yang sama dengan populasi sasaran dan dapat berbagi pengetahuan pragmatis dan pemahaman empatik. Dukungan ini dapat berbentuk (a) dukungan informasi (pengetahuan, fakta, dan saran), (b) dukungan emosional (mendengarkan dengan penuh perhatian, kepedulian, dan jaminan), dan (c) dukungan penilaian (motivasi, dorongan, komunikasi positif) yang disampaikan oleh teman sebaya (Dennis, 2003).

  • Melakukan Zikir

Zikir adalah salah satu metode untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dapat membantu seseorang membentuk keyakinan bahwa ia dapat secara efektif menangani stres atas bantuan Allah. Salah satu keuntungan dari berzikir adalah timbulnya perasaan damai, penuh perhatian, ketenangan, dan relaksasi (Mardiyono et al., 2011). Menurut Subandi (2009), penyembuhan jiwa dan berbagai penyakit dapat dilakukan dengan mengulang-ulang nama Allah (zikir). Tidak hanya itu, zikir membantu ibu hamil merasa lebih dekat dengan Tuhan, membantu menurunkan rasa cemas dengan mendorong mereka untuk berpikir positif, dan menyerahkan kendali kepada Tuhan (Sukarsih, 2022).

REFERENSI

Related Posts