Mental Illness : Boleh Gak Sih Kita Self-Diagnose?
Di era penuh kemajuan teknologi ini, semua hal dapat dengan mudah kita akses di internet. Mulai dari resep makanan, DIY (Do It Yourself), tutorial kecantikan, hingga mengenai informasi penyakit―tak memungkiri gejala dari mental illness atau penyakit kejiwaan. Seluruh informasi dapat ditemui dengan hanya mengetik beberapa kata dalam kolom Google. Namun, dengan perkembangan teknologi ini, apakah dampaknya baik untuk segala informasi yang kita temui lewat internet?
Jawabannya tentu tergantung dengan bagaimana setiap individu mengolah informasi tersebut. Seringkali orang-orang mencari tahu informasi mengenai mental illness di internet untuk kemudian melakukan self-diagnose terhadap kondisinya. Nah, itulah hal yang berbahaya! Gejala mengenai mental illness tidak bisa disimpulkan secara sederhana tanpa penanganan kasus lebih lanjut oleh pakarnya―psikolog. Informasi yang kita temui di internet boleh saja kita baca untuk memperluas wawasan, namun untuk penanganan lebih lanjut, kita harus menemui psikolog.
Mengutip dari www.whiteswanfoundation.org bahwa, “Self-diagnosing is the process of diagnosing your illness, whether physical or mental, on the basis of past experiences or information available on popular media, such as internet or books”. Budaya di masyarakat adalah sangat mudah mengkategorisasikan kondisi, contohnya depresi. Orang-orang akan mencari ‘”gejala-gejala depresi” di internet kemudian melakukan self-diagnose apabila mereka memiliki salah satu diantara beberapa gejala yang tertera. Seharusnya kita lebih hati-hati mengenai diagnosa penyakit mental pada diri sendiri dengan tidak menganggap ringan kasus ini.
Blogger tentang kesehatan mental sekaligus penulis We’re All Mad Here, Claire Estham, mengatakan, “I think it’s important to understand that mental health is a huge spectrum. You can feel depressed and not have depression, or feel anxious but necessarily have anxiety.”. Yakni isu perihal kesehatan mental adalah hal besar, dengan kita merasa depresi pada satu hari, belum tentu kita mengidap depresi secara mental.
Self-diagnose membuat orang-orang terkadang memperparah kondisi yang sedang mereka tanggung melebihi kondisi sebenarnya. Karena mental illness dapat pula berkembang akibat seseorang terlalu khawatir dan berlanjut memperparah keadaannya dengan overthinking tersebut. Seseorang yang awalnya tidak mengidap penyakit mental pun dapat mengalaminya apabila terlalu melebih-lebihkan perasaan khawatir.
Dengan self-diagnose yang salah pun dapat menyebabkan indikasi penyakit lain yang sebenarnya dialami menjadi ter-abaikan. Dampak dari self-diagnose; indikasi penyakit medis salah diagnose menjadi penyakit mental begitupula sebaliknya. Penyakit tumor otak dapat menyebabkan perubahan tingkah laku, psikosis (kondisi di mana penderitanya mengalami kesulitan membedakan kenyataan dan imajinasi), atau depresi. Ketika seorang individu hanya melakukan self-diagnose dan penanganan untuk depresi akan membahayakan kondisi tumor pada otak.
Seringkali mood swings atau perubahan mood yang sering dianggap sebagai manic-depressive atau bipolar disorder, sedangkan mood swings merupakan salah satu dari sekian banyak gejala penyakit klinis seperti borderline personality disorder dan depresi lainnya.
Maka dari itu, untuk melakukan self-diagnose kita harus mengerti aturan serta kebijakan tata cara mendiagnosa. Dokter, psikolog, dan psikiater adalah orang-orang yang mampu melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang awam―yang tidak mempelajari ilmu tentang penyakit medis dan mental. Diluar dari pemahaman serta wawasan yang kita temui lewat internet, kita tidak bisa mendiagnosa sebuah penyakit karena dapat mengarah pada self-medicate yang salah. Penanganan yang dilakukan oleh para ahli untuk penyakit mental dapat menimbulkan efek samping yang signifikan untuk pemulihan melalui terapi, tidak sama dengan penanganan melalui obat ketika kita merasa sakit kepala.
Dengan mudahnya mengakses informasi mengenai mental illness di internet, alangkah baiknya kita dengan bijak memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut. Setelah membaca dan merasa ada beberapa kondisi kita yang sesuai dengan gejala yang tertera pada internet, janganlah langsung melakukan self-diagnose melainkan lakukanlah konsultasi dengan dokter, psikolog, atau psikiater.
Referensi:
Petter, O. (2017, Oktober 10). WORLD MENTAL HEALTH DAY: IS IT POSSIBLE TO SELF-DIAGNOSE DEPRESSION? Retrieved Oktober 12, 2019, from independent.co.uk: https://www.independent.co.uk/life-style/world-mental-health-day-2017-depression-self-diagnose-is-it-possible-advice-a7992786.html
Pillay, S. (n.d.). The Dangers of Self-Diagnosis: How self-diagnosis can lead you down the wrong path. Retrieved Oktober 12, 2019, from Pschologytoday.com: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis
Why The Internet Cannot Diagnose Your Mental Illness. (n.d.). Retrieved Oktober 12, 2019, from www.whiteswanfoundation.org: https://www.whiteswanfoundation.org/article/self-diagnosing-of-mental-illness/
Link:
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis
https://www.whiteswanfoundation.org/article/self-diagnosing-of-mental-illness/
Nadya Rahma Andjani Putri
10050018245
(Pengembangan Organisasi)