Self-Diagnose, Bagus untuk kesadaran akan sehat mental atau malah berbahaya?
Hal paling awal yang harus kita pahami adalah, apa sih self diagnose itu? Yang dimaksud dengan self diagnose adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang Anda dapatkan secara mandiri, misalnya dari teman atau keluarga, bahkan pengalaman sakit dimasa lalu. Pada akhir-akhir ini banyak aplikasi dan laman internet yang menyediakan “jasa” untuk mendiagnosis diri anda, seperti symptomate.com, medoctor.com, symptoms.webmd.com dan sebagainya. Padahal pada dasarnya seharusnya diagnosa mengenai gangguan mental harusnya di lakukan oleh ahlinya, jika mengalami keluhan atau adanya gangguan psikis ya hubungi psikolog atau psikiater untuk penanganan lebih lanjut.
Menurut data yang didapat dari survey yang dilakukan The Tinker Law Firm menghasilkan bahwa 44% dari 3000 warga America melakukan self diagnose. Jika dikalkulasikan berarti dalam 3000 orang terdapat 1320 orang yang melakukan self diagnose online. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak sekali orang yang melakukan self diagnose.
Kenapa sih harus ke psikolog atau psikiater? Karena ketika kita di diagnnosa oleh psikolog atau psikiater setidaknya ada pihak yang bertanggung jawab ketika memang diagnosa yang diberikan tidak akurat, coba di bayangkan ketika aplikasi atau laman internet itu memberikan diagnosa yang salah kepada penggunanya apakah ada jaminan untuk bertanggung jawab? kita bedakan dengan psikolog dan psikiater yang memang telah memiliki kode etik nya tersendiri ketika melakukan treatment kepada klien nya.
Selanjutnya akan dibahas apakah self diagnose itu sebenarnya berbahaya atau tidak untuk kesehatan mental, self diagnose atau mendiagnosis diri sendiri ini memungkinkan seseorang lebih aware terhadap dirinya, karena dari pendapat penulis sendiri ketika memang orang itu mendapat hasil dari aplikasi atau laman web yang menyediakan “jasa” diagnosa online, memungkinkan orang itu akan berfikir untuk mulai datang ke psikolog untuk meninjau lebih jauh bagaimana keadaan dirinya sendiri, namun berbeda ketika orang itu tidak kritis atau sedang dalam keadaan terpuruk dan memang mempunyai riwayat mental illness, atau awam yang sebelumnya tidak tahu tentang mental health akan memungkinkan orang tersebut tingkat kesehatan mentalnya lebih buruk lagi dibandingkan dengan sebelumnya.
Dan selanjutnya mental illness itu tidak sesederhana yang kita pikirkan, butuh observasi yang mendalam dan juga tes-tes yang memang relevan untuk mengetahui apakah orang yang kita tes itu sehat mental atau tidak, jadi tidak hanya menggunakan tes-tes sederhana yang ada di internet. Dan dalam penyakit mental ini pun banyak komorbid atau gejala-gejala yang mengikuti, nah dari komorbid ini malah memungkinkan orang salah mendiagnosis, contohnya OCD (obsessive compulsive disorder) memiliki komorbid dengan kecemasan atau anxiety, orang yang tidak mengetahui pengetahuan yang cukup mengenai penyakit mental mungkin akan mengaitkan kecemasannya bukan ke OCD namun malah ke penyakit-penyakit kecemasan lain, seperti PTSD (post traumatic stress disorder), Panic disorder, atau bahkan malah mengaitkan dengan depresi berat.
Menurut penulis dapat disimpulkan bahwa self diagnose itu berbahaya bagi orang awam yang memang tidak memiliki ilmu lebih untuk mengetahui hasil diagnosanya, namun akan baik bagi orang yang memang memiliki jiwa kritis dan dengan adanya self diagnose malah ia sadar akan kesehatan mental.
Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa